PANGGIL SAJA AKU MAS BRO
Pagi datang dengan embun yang sejuk, saat para ulama bernyanyi di rumah tuhan, para kuli pasar mulai memikul, hunian pejabat masih sepi dari kehidupan, saat itu Lastri dengan tutur lembutnya, membangunkan ku, pasar pagi dekat rumah menjadi tujuan.
Panggil saja aku mas bro, laki-laki kampung, yang berpasangan dengan perempuan desa, hari ini aku sedang bekerja menghidupin keluarga dengan sejuta semangat dan keringat menetes demi keluargku tersenyum riang ketika aku pulang di soreh hari.
Lastri namanya, ialah perempuan yang tegar dalam menjalanin kehidupan miskin bersamaku, dia memiliki kulit bewarna coklat, matanya sipit, dengan hiasan alis mata yang tipis, dan bola mata yang hitam, hidungnya tidak terlalu mancung , standart hidung pribumi, bibir tipisnya tak pernah berwana , itu karna dia tak memakai listif, sebab uang belanja yang ku beri tak sanggup mencukupin kebutuhan untuk merawat diri, kulit di wajahnya sudah mulai keriput , mungkin karna dia tak pernah menggunakan kosmestik ala orang kaya, sehingga kulit wajahnya lebih cepat keriput dan tak terawat.
Kami sudah menjalani kehidupan rumah tangga selama lima belas tahun, di anugrahi tiga orang anak,yang mewarisin wajah ibunya, dan rambut keriting yang ku miliki. Anak tertua ku bernama Shinta, dia duduk di bangku SD kelas enam, di sekolah dasar yang terletak tak jauh dari rumah ku, yang kedua bernama Dani, dia juga masih SD kelas empat, sekolah yang sama dengan kakaknya, sedangkan si bungsu bernama Dewi, dia belum bersekolah umurnya masih tiga tahun, ialah menjadi teman setia Lastri untuk menghusir rasa sunyi di rumah, bila aku dan anak –anak yang bersekolah sedang tak di rumah.
Kami tinggal di istanah kecil milik orang tua yang di wariskan untuk ku,letaknya tak jauh dari tempat aku bekerja, rumah petak yang lebarnya tak lebih dari lima meter dan panjang enam meter, atab genteng dari tanah liat, sedangkan didingnya setengah batu dan sisanya gedek yang bolong-bolong, tak ada barang elektronik, mau itu tv atau pun radio hingga suasana rumah sangat sepi, di istana kecil ini lah semua aktivitas kami lakukan, mulai dari memasak, sampai pada tidur, semua kami lakukan di istanah kecil ini.
Aku bekerja di salah satu kampus besar yang sangat megah di sebelah selatan kota yogyakarta,kemegahannya bisa terlihat ketika para pembaca berkunjung ke tempat kerja ku, begitu para pembaca tiba di depan kampus tersebut maka dua pilar gedung mewah akan menyambut kedatangan para pembaca, kampus ini yang selalu dalam iklannya mengemban kepedulian terhadap masyarakat miskin.
Aku bekerja sebagai cleaning service, tentu posisi tersebut aku dapatkan tak terlepas dari pendidikan ku yang rendah, sejak lulus SD aku tak melanjutin sekolah, karena ingin mengurangin beban orang tua ku, aku ikut membantu bapak memulung botol plastik bekas,kami kumpulkan segala barang bekas yang dapat di jual untuk menyambung kehidupan keluarga, hidup miskin dari kecil memaksa ku untuk mengakui tempat ku bukan di ruang kelas, yang penuh dengan senyum kosong.
Sejak dua tahun lalu, aku bekerja di kampus ini dengan harapan ku bisa memenuhi kebutuhan keluarga, namun layaknya cleaning service aku harus membanting tulang, bekerja sampingan demi mencukupin kebutuhan keluarga , sebab gaji yang aku dapat dari kampus yang di dalam iklannya selalu mengemban kepedulian terhadap masrakyat miskin, sangat rendah.
Gaji ku hanya berkisar Rp 350.000,perbulan nya, dari jam 06.00 wib-15.00wib aku bekerja. Hanya dapat memenuhi perut si merah, motor tua ku yang sampai hari ini setia menemanin aku kemanapun untuk mencari segumpal beras, untuk di makan oleh istri dan anak ku, dengan gaji rendah itu mungkinkah aku dapat memenuhi kebutuhan keluarga ku, di tengah kebutuhan pokok yang harganya melambung tinggi?.
Gaji yang tidak cukup itu membuat ku terus membanting tulang, dengan kerja serabutan yang aku lakukan di tempat ku bekerja, bila beruntung aku mendapat proyek kecil, sebagai tukang suruh untuk membeli makanan, buat para pengajar ,dengan harapan di beri uang jalan.
Bila badan ku tidak capek aku sering mengambil lembur untuk membersihkan ruangan kelas yang di pakai malam hari oleh para pengajar dan mahasiswa untuk melanjutkan aktivitas kuliah.
Menjadi tukang suruh dan lembur tentu belum bisa mencukupin kebutuhan keluarga ku, upah yang paling tinggi ku terima dari pekerjaan serabutan menjadi tukang suruh bekisar Rp 10.000 dan dari hasil lembur aku hanya mendapat Rp 2500, per jam aku bekerja membersihkan ruangan kelas dan rorong jalan, di tempat aku bekerja.
Gaji, lembur dan upah jadi pesuruh belum juga mencukupin kebutuhan keluarga ku, akhirnya ku memutuskan untuk menjadi tukang pikul di pasar pagi yang bertempat di dekat rumahku.
bila waktu sudah mulai mendekati dini hari, Lastri membangunkan ku, agar aku cepat menuju pasar pagi, sebab apabila aku terlambat, bisa tidak mendapatkan apa-apa dari pasar pagi itu, karna banyaknya tukang pikul yang nasipnya tak jauh berbeda denganku, hingga saling berebutan untuk menawarkan jasa pada pengunjung pasar.
Ada satu aturan di profesi kami , “siapa cepat dia dapat”,aku juga tidak selalu beruntung terkadang aku terlambat menuju pasar, mengakibatkan aku tak membawa apa-apa pulang ke rumah, hanya wajah lesuh yang bisa ku lampirkan ke istri dan anak-anak ku, tapi seperti biasa, istri dan anak-anak ku tetap tersenyum di saat aku pulang walaupun tidak mebawa apa-apa untuk mereka.
Sering aku berpikir tentang masa depan anak-anak ku, terlintas pertanyaan di dalam pikiran ku, bagaimana mungkin masa depan anak ku cerah, bila aku tidak bisa membiayai mereka sekolah sampai jenjang sarjana? sementara uang yang bisa ku hasilkan dalam sebulan dari semua sumber kerja keras ku, tak lebih dari RP 800,000. Anak-anak ku butuh makanan yang bergiji untuk mendorong mereka dalam belajar, dengan uang segitu aku pun tidak berani jauh bermimpi, tentang sebuah kesuksesan anak-anakku di masa depan, sebab yang aku lihat di dalam masyarakat sekarang, sukses sangat sulit di raih bila kita tidak memiliki sekolah sampai jenjang sarjana, jenjang sarjana di raih dengan nominal uang yang cukup besar, sehingga aku menyimpulkan sendiri takdir masa depan anak-anak ku yang tak jauh berbeda dengan ibu dan bapaknya.
Pernah suatu malam di saat ku duduk santai menikmatin malam di depan rumah, di temanin air putih satu gelas, dan kerupuk ,yang di beli Lastri dari warung.
anak ku yang pertama menghampiri ku dengan wajah yang memelas, ku bertanya sama dia,“kenapa wajah kamu sedih,kamu mau bicara apa?.
Dia menjawab sambil menangis, terseduh seduh, sampai-sampai apa yang di omongin tidak jelas kedengaran oleh telingah ku.
Dengan sabar aku mengelus rambutnya agar dia lebih tenang menjawab pertanyaan ku, sambil ku hibur dengan kata-kata yang bertujuan membuat dia tidak takut menyampaikan jawaban dari pertanyaan ku.
“jangan menangis putri ku, kamu ne sudah besar, sebentar lagi menjadi gadis dewasa, harus memiliki keberanian, menangis hanya untuk mereka yang pengecut”.
Setelah segala cara ku lakukan untuk memujuknya agar menjawab pertanyaan dariku, akhirnya dia menjawab dengan tenang.
Dia katakan pada ku, “ayah jangan sedih ya, dengan cerita Shinta”
sambil hati ku menebak-nebak apa yang ingin dia bicarakan, tapi rasa penasaran yang ada di hati aku simpan sejenak, lalu mengatakan pada anak ku untuk melanjutkan omongan nya.
“iya ayah tidak akan sedih, apa yang mau kamu katakan putriku”?? .
“ Begini ayah, tadi pagi shinta dan dani di bentak-bentak oleh guru di sekolah yang membindangin keuangan untuk ektra kulikuler, karena belum membayar selama enam bulan, uang ektra kulikuler yang perbulanya Rp 20000 , guru di sekolah itu mengatakan pada shinta dan dani bila dalam waktu satu bulan tidak membayar tungakan uang ekstra kulikuler, maka kami berdua akan di keluarkan dari sekolah”. Tangkasnya dengan wajah yang memelas.
Aku sangat terkejut mendengar keluhan anak ku, beberapa hari yang lalu aku sempat membaca koran milik atasan ku, koran itu memuat kabar bahagia , bertuliskan negara mengeratiskan pendidikan dari tingkat dasar sampai jenjang menengah, geratis.! Katanya, tapi kenapa sinta harus di bentak-bentak karena tidak membayar uang ekstrakulikurel di sekolah yang sudah di jamin negara geratis.? Apakah itu hanya ilusi, yang tertera di dalam koran atasan ku.
Aku lihat wajah anak ku yang begitu sedih, matanya redub dia tundukan wajahnya di saat aku menantapnya, mungkin dia berpikir aku sedih mendengar ceritanya.
“ Yasudah kamu tidur dulu, tidak usah memikirkan masalah di sekolah mu, besok pagi sebelum kamu berangkat sekolah, ayah akan kasih uang untuk membayar tunggakan uang ekstra kulikuler Shinta dan Dani di sekolah”.
Mendengar omongan ku, anak ku lansung tersenyum, wajah sedih nya hilang seketika berganti dengan binar-binar kebahagian , sambil dia katakan padaku “ terima kasih ayah, ayah jangan terlalu larut malam tidurnya ”, aku mengangguk sambil tersenyum mendengar ucapan Shinta.
Setelah pembicaraan kami selesai, dia perlahan- lahan berjalan meninggalkan ku, malam semakin larut aku masih duduk di depan rumah, Lastri sudah tidur dari tadi, setelah dia bernyanyi dengan suara merdu, yang bertujuan untuk membuat si bungsu tertidur pulas mendengar ia bernyanyi, itu lah aktivitas yang sering di lakukan teman hidupku di saat malam.
Pikiran ku mulai gelisah dengan omongan barusan yang aku sampaikan kepada Shinta.
”Dari mana aku bisa mendapat kan uang sebesar itu dalam waktu satu malam”?? pertanyaan ini muncul di kapalaku.
Pikiran terus berputar demi mencari jalan keluar untuk membayar tagihan sekolah sinta, seperti janji ku tadi kepada sinta, tiba-tiba aku teringat dengan pak haji, juragan cabai di pasar pagi tempat ku bekerja serabutan menjual jasa pikul.
Pak haji pernah menanyakan padaku tentang motor tua yang aku milikin, dari gaya bicaranya dulu aku melihat pak haji tertarik dengan motor tua warisan kedua orang tua ku,tapi hatiku masih merasa berat bila harus menjual motor tuaku, di lain sisi hatiku juga terus gelisah melihat nasip anakku, bila aku tidak menjual motor tua ini, maka anak ku tak dapat sekola lagi, tak ada jalan yang lain, mengadu kepada siapa? Semua saling sembunyi di atas penderitaan rakyat kecil, mau tak mau aku harus menjual motor tua miliku , agar Shinta dan Dani dapat melanjutkan sekolah lagi tanpa terhenti hanya gara-gara tak membayar uang ekstra kulikuler.
Tak terasa subuh sudah menggapai desaku, aku harus bergerak menuju pasar pagi, di temanin rasa ngatuk, tanpa ijin dengan Lastri, karena dia masih tertidur pulas aku lihat, mungkin dia kelelahan mengurusin si bungsu satu harian.
Aku lansung melangkah kan kaki menuju motor tua ku lalu menunggangin nya ke pasar pagi dengan tujuan yang berbeda, biasa nya aku datang dengan sejuta harapan mendapatkan orang-orang baik menggunakan tawaran jasa ku untuk mengangkat barang-barang yang di belinya di pasar pagi.
Kali ini aku melangkah menuju pasar pagi dengan niat menjual motor tua ku, kepada Pak haji, mudah-mudahan dia masi tertarik dengan motor tua ku, tiba aku di pasar pagi, seperti biasa para pedagang sudah menjajalkan barang daganganya.
Aku lansung menuju ke lapak Pak haji dengan sejuta harapan, aku bertemu dengan Pak haji dan lansung mengatakan maksud dari kedatangan ku, tak butuh waktu lama aku menawarkan untuk dia membeli motor tuaku, dia lansung mengatakan bersedia membeli motor tua ku tanpa menawar harga yang aku ajukan, sepertinya Pak haji sangat tertarik dengan motor tua ku, kesepakatan pun terjadi, Pak haji memberi uangnya aku memeberi motor tuaku beserta surat-surat kepadanya.
Setelah mendapatkan uang dari hasil menjual motor tua ku, aku lansung pulang menuju rumah di temanin rasa sedih karna kehilangan motor tua yang menjadi teman hidup ku puluhan tahun serta telah banyak menggoreskan kisah hidup ku.
Di rumah, Lastri menyambutku dengan wajah yang bingung sambil bertanya padaku, “motor kamu mana mas”?. “Mas jual sayang, untuk bayar uang sekolah Sinta dan Dani” jawab ku, dia hanya terdiam mendengar jawaban ku, dan tak menanggapin kata-kata ku.
Aku kasih uang hasil menjual motor tua ku pada lastri sambil berpesan, “sayang nanti uang ini kamu kasih ke Shinta ya, untuk membayar tunggakan nya di sekolah”, Lastri mengganguk mendengar pesan dariku, tak ada satu kata yang keluar dari bibirnya, diam dengan mata bekaca-kaca. tak banyak aku bicara dengannya, aku lansung menuju kamar mandi, untuk membersikan badan ku yang gerah.
Usai mandi seperti biasa aku selalu menjemur handuk ku di depan rumah, ku dapatin Lastri sedang melamun sedih di teras rumah ku, wajah nya lesu, aku tegur istriku, “Lastri “, mendengar aku menyapanya , dia pun kaget, melihat aku tiba-tiba berada di sampingnya,lalu aku bertanya pada dia, “ada apa lastri, kenapa kamu termenung”?? dia tak menjawab pertanyaan ku, hanya ekspresi murung yang terlihat di wajahnya saat mendengar pertanyaan dariku.
Rasa penasaran terus menggugah diriku untuk mengetahui apa yang sedang di pikirkan Lastri, sebab aku tak biasa melihat dia merenung, pasti ada sesuatu yang membuat dia risau.
“ Kenapa kamu merenung sayang”? tanyaku kembali. Wajahnya masih memunculkan ekspresi sedih , sambil sesekali dia menatap sembunyi-sembunyi wajahku, yang lagi gusar tak sabar mendengar keluhanya.
Sejenak kami saling diam, tak ada kata yang keluar dari bibirnya, begitu juga dengan ku.
ratapan mata sedih dan wajah nya yang lesuh, membuat ku gelisah, sambil menggurutu di hati , karena rasa penasaran yang sulit di bendung, bersarang di pikiran ku, , selama setengah jam kami saling diam, sibuk berpikir sendiri.
“Bearti aku tak punya kesempatan untuk memberi solusi? tanyaku lagi, sambil meyakinkan nya,agar ia mau katakan hal yang membuatnya risau.
Tak lama aku bicara, ia menjawab dengan singkat, “tidak ada masalah apa-apa mas, jadi tak perlu solusi”. “Lalu kenapa wajah kamu merenung”?? tanyaku dengan nada penasaran,ia jawab dengan hati-hati, kata perkata ia susun rapi untuk menjelaskan gundah di hatinya.
“Lastri sedang memikirkan masa depan anak -anak kita, setelah lastri mendegar khotbah Pak ustad di pengajian masjid kemaren, Lastri jadi berpikir“ jawabnya. Terhentak aku bingung, ada apa lagi dengan pak ustad, kenapa dia buat Lastri risau, sementara jalan keluar tak terucap dari bibirnya.
“Apa yang di katakan Pak ustad?” tanyaku di selimutin bingung.“Ustad di pengajian itu kemaren katakan mas, nasip manusia itu di tentu kan oleh gusti allah, mendengar perkataan ustad itu Lastri jadi bepikir, tentang nasip anak” kita kedepanya” jawabnya dengan sedih.
“Kalau memang gusti allah yang mengatur itu semua, bearti kita tidak perlu khawatir, kebahagian anak kita di masa depan. Tetapi ada keganjelan yang Lastri rasa di omongan Pak ustad, kalau memang gusti allah yang mengatur itu semua, lalu apakah bisa anak kita yang tak sarjana, masa depanya cerah, sementara kita melihat sendiri di desa ini,yang tak sekolah nasipnya tak beda dengan kita ” sambut Lastri.
Mendengar keluhanya yang begitu panjang sampai aku tak bisa mengingat bait perbait kata yang telah di keluarkannya aku hanya katakan yang semestinya.
“Ini lah kehidupan sayang, yang miskin harus diam di pinggir jalan melihat antrian mobil mewah masuk ke kampus megah, kita dan anak kita hanya diam, dan terus berjalan, jangan henti atau pun mengeluh, itu kesalahan bagi si miskin, apalagi mengharap belas kasihan ntah dari mana, yang membuat si miskin terbungkam di selimutin kata-kata suci, dari orang- orang pintar yang sok rupawan“, saud ku. Dia tak menjawab apa-apa, hanya senyuman lugunya yang ia lampirkan di wajahnya, ketika mendengar kata-kata ku rasa gundah di hatinya yang di akibatkan Pak ustad pun hilang di gantika binar-binar senyum di wajahnya.
“Kenapa kamu tersenyum?”, tanyaku dengan rasa gerogi.
“Gak papa mas” dia jawab dengan singkat”,”Tak apa, kok kamu tersenyum?”.
“Begini mas, lastri sangat senang, karena Lastri mengetahui suami Lastri lelaki yang berani”.
Suami mana yang tak senang, bila di bilang berani oleh pasangan yang iya cintai, terus aku tanya kan ke dia “ apa kah itu sebuah rayuan lastri?”.
Dia tertawa kecil, sambil menunduk kan wajahnya, mata sipitnya hampir tak terlihat bila ia tertawa.
lalu ia katakan dengan nada yang tak henti merayu, “ndak kok mas, itu bukan rayuan, Lastri hanya katakan apa yang sebenarnya”.
“Terimah kasih lastri kamu sudah menyampaikanya”, “iya mas” jawabnya.
“Oya lastri ada yang ingin mas tanya kan ke kamu”. “apa itu mas ? tanyanya, “tapi kamu harus jawab jujur ya”, “lastri akan usahakan”. saudnya.
Begini Lastri, aku ingin tanya kamu menyesal tidak menikah dengan ku?” , Lastri kaget mendengar pertanyaan ku , terlihat kulit wajahnya di kening berkerut , mungkin dia bingung ,
mendengar pertanyaan ku lalu ia katakan, “kenapa mas bertanya seperti itu”? ,”tak apa Lastri, mas hanya ingin tau saja” jawabku.
“pertanyaan itu mas sendiri sudah tau jawabanya” sambutnya, “Aku tidak tau Lastri” jawabku.
Sejenak dia terdiam sambil menatap wajahku, lalu ia katakan, “ tak mungkin Lastri menyesal hidup dengan mu, walaupun hidup kita miskin seperti ini, hidup miskin bukan mau mu atau pun tuhan, kau sudah berusaha , usaha mu sudah cukup jadi alasan, aku tetap di istana kita,
‘Lalu apa yang membuat mu bertahan lastri di samping aku”? tanya ku kembali ingin mendengar rayuannya yang menyejukan hati.
Ia tersenyum mendengar pertanyaan konyol ku itu, “mas- mas seharusnya kamu tidak perlu bertanya lagi kenapa Lastri bertahan, aku sudah katakan tadi, usaha mu dan keberanian mu menjadi alasan ku untuk bertahan.
Mendegar jawaban Lastri aku tersenyum sendiri, malu, bercampur senang mendengar pujian dari teman hidupku.
Tiba-tiba si bungsu terbangun dari tidurnya mungkin karena panas pagi yang menembus dinding rumah membuat ia menangis, di sela-sela aku dan Lastri asyik saling memuji.
“Mas si bungsu nangis, Lastri ke dalam dulu ya mas” ucapnya mendegar tangisan si bungsu, “iya lastri” jawabku yang masih berharap mendengar ribuan pujian darinya.
Saling memuji dengan Lastri hampir membuat ku lupa , dari tadi malam aku belum tidur, badan ku sudah merasa lelah, ada baiknya aku masuk ke dalam berbagi tempat dengan si bungsu, untuk istrihat sejenak dari kehidupan yang miskin ini, hanya tidur la hiburan kami.
Cerita ku ini mungkin tak hanya terjadi padaku, kemiskinan bukan hal yang langkah di negeri ku, para gembel kelaparan bejejer tiap paginya di lampu merah, bawa mangkok dengan wajah memelas, kemana mahasiswa? peristiwa 98 , aku saksi sejarahnya, para pemuda -pemudi berani keluar kampus banjirin jalanan dengan sejuta selogan demi kemakmuran, kemana mahasiswa? mereka lupa dengan kekuatanya, mereka lupa dengan lingkungan nya. cerita ku semoga sampai ke telingah kalian, bangkit lah sayang, tak ku minta pristiwa 98, aku hanya ingin kalian tau, di kampus mu, tempat kau memamerkan mobil baru, motor keren, dan segudang aksesoris kehidupan, masih ada kami yang membersihkan ruangan kelasmu, dengan gaji yang di djolimin, lahirlah kau sayang di atas keberanian seperti merahnya api, teguh seperti air yang tak kenal menyerah, demi kami dan jutaan rakyat miskin .
Sumber tulisan:
Wawancara dengan pekerja cleaning servis yang bekerja di salah satu kampus megah di sebelah selatan kota Yogyakarta.
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/23/panggil-saja-aku-mas-bro-634117.html