Minggu, 16 Maret 2014

Diary piliang 2

Dear diary 2
Biarpun kau menarh hati pada cewe lain aku akan menunggumu walaupun kau sudah tua aku akan tetap mencintaimu walaupun hujan menghadang kukan selalu setia,walaupun janur kuning telah melengkung aku kan berjuang,walaupun tak dapat bujangnya dudanya pun tak apa. "kutunggu dudamu"
Diary 1 balasan taylor
Aku sebenarnya tidak ingin membuat dirimu kesal apalagi hancur hatinya 2x daku sangat mencintaimu --- tapi cintaku teah bersanding kehati yang lain tapi rasanya hatiku jatuh pada dua hati kamu jangan marah ya walaupun engkau tahu aku mencintaimu tapi aku tidak mau menyakiti kekasih hatiku,maafin aku ya..:))

Diary piliang 1

Dear diary 1
Malam ini sebel banget aduh sebel-sebel-sebelGuan sebel banget sama si taylor hidup ku di rindung pilu karena daku benci dengan dirinya dan diriku suka sama dia cintaku tak terbatas olehnya rasanya hatiku ingin hanur 2 kali coba saja kamu tahu apa yang kurasa pada dirimu taylor .Aku padahal telah menyanyikan nyanyian kode padamu taylor .....</3

Minggu, 23 Februari 2014

cerpen

BERTENGGER DI DEPAN ISTANA

1393156955385106748

Kotak persegi empat dengan dua corak warna yang dominan, bertengger di hadapan istana yang gemilang indahnya,  menjulang tinggi penyangga bendera, berkobar di bawah derasnya alur angin sore, membuat warna merah putih yang menempel di kotak persegi empat itu, menggelegar, dengan tanya.  “Sudah merdeka kah kita ini?”.
Sepertinya pertanyaan itu sudah usang di dalam diri kita, lebih indah bila kita berbondong-bondong mengantri, berpakaian rapi lengkap dengan dasi dan sepatu yang harganya selangit, mendaftarkan diri menjadi salah satu orang super pintar, mengotori tangannya untuk merusak alamnya sendiri, apakah benar?. Nampaknya begitu, kita lebih bangga menjadi bagian dari perusahaan yang menguasai jagat bumi, di banding mengusirnya dari Negeri Pertiwi, belajar dan bekerja sama-sama!, membangun kemandirian.
Petani di desa bercerita, walaupun ia terisolasi di ujung pulau anta berantah, mereka punya keyakinan, setiap maling yang menyelinap ke tanahnya, maka layak di usir dengan teriakkan, dan pentungan ranting pohon serta tajamnya arit, sebagai hadiah untuk para maling berdasi yang merampas tanah petani di ujung timur hingga barat sana.
“Kotak semir sepatu siapa ini kek?”. Teriak bocah laki-laki yang memakai separuh seragam sekolah, dengan tangan di bebani, dagangan asongan.
Pria yang duduk bersila di bawah pohon, mengenakan topi veteran perang, menanggapi pertanyaan bocah itu. “Biar kan saja di situ cah, itu milikku”.
Topi veteran perang itu menutup rambut putihnya, menutup kalut mata yang sudah rindu dengan kegembiraan kerumunan pemuda-pemudi teriakan yel-yel perubahan, seperti ia di masa dulu, saat mengokang senjata, memaksa tentara Jepang, lari terbirit-birit di kejar pribumi, yang hampir mati di tanahnya sendiri.
Mungkin tak satu pun orang yang melintasi jalan ini mengenal pria yang duduk bersila itu, sebab namanya tak masuk di rentetan pahlawan nasional Negara ini. Perperangan mengusir penjajah yang di lakoninya menjadi Komandan tempur (Letkol) di Batavia pada era kepemimpinan Soekarno, dengan semangat kemerdekan dan ketulusan juang, pupus di satu malam panas, peristiwa berdarah yang menelan korban tanpa tanya, hilang senyap di perkebunan, di sudut-sudut pabrik, dan hanyut di bawa arus sungai.
Peristiwa itu membuat ia lari tanpa tujuan, untuk menyelamatkan diri dari pembataian tanpa ampun. Yang di lakukan bangsanya sendiri.
Di dalam pelarian yang penuh keterbatasan, ia hidup menumpang di rumah sanak keluarga. Berjalan penuh gundah, menghindari garangnya bangsa sendiri berteriak semboyan kematian.
Malam-malam kelabu itu berlalu ia juga tak hidup bebas seperti di masa harumnya bunga Revolusi 45. Ia selalu sembunyi-sembunyi di tengah ketakutan saat orang asing menghampiri rumah keluarganya, tempat yang ia tumpangi, menunggu kematian menjemput, tanpa cita-cita, hidupnya penuh duka.
Manusia yang bertindak melebihi kuasa Tuhan runtuh dari negeri kayangan yang ia buat di atas mayat jutaan rakyat(menolak lupa peristiwa 1965). Di rebut panggungnya oleh desakan rakyat yang tertipu muslihat para pendekar pemberi harapan palsu (Reformis gadungan). Namun keruntuhan manusia yang bertindak melebihi kuasa Tuhan itu, memberi ia harapan hidup kembali. Ia mulai menampakan dirinya di pusat Negara, dengan berjalan dari satu kampung ke kampung lain, membawa kotak sol dan semir sepatu yang sudah lama menjadi tumpuhan hidupnya.
Kenyataan apa yang ia dapat?.
Negeri ini tak ubah sepatu yang datang dari para langganan, yang memakai jasanya untuk di buat seperti baru lagi, dengan warna coklat dan hitam mengkilat, bau busuknya masih mengeram di dalamnya, polesan mengkilat darinya ia ibaratkan seperti reformasi yang membuka ruang kebebasan bicara, dan menghapus namanya di daftar kematian. Tapi tulang pipi yang menonjol di wajahnya masih menggambarkan kesedihan, atas kebenaran yang sampai hari ini tak terungkap, bertahun-tahun ia melihat orang-orang mengenakan pakaian hitam serta pernak pernik atribut gugatan mencari orang-orang yang hilang, bergantian orasi di depan istana, orang-orang itu setia dengan panasnya siang di hari kamis untuk terus menuntut,  walaupun tak pernah di pedulikan penghuni istana yang megah itu.
“Yasudah jaga baik-baik itu kotak kek, aku pulang dulu kek, sudah sore, besok aku masuk sekolah”. Ucap bocah yang bertanya dengan dia tadi.
Senja menghampiri langit-langit kota, namun dia tak beranjak dari bawah pohon itu, ia tetap memandangi gedung mewah di depannya, berangan-angan mengulang masa lampau, mengenang di mana bangsanya menjulang tinggi di hadapan bangsa-bangsa di atas bumi, siapapun boleh memasuki gedung mewah itu, tanpa adanya penjagaan anjing berseragam lengkap dengan besi tua semperotan air dan kawat berduri yang berbaris rapi.
Itu hanya masa lalu. Istana itu sudah berubah menjadi gedung tak bertuhan. Rakyat kecil tak akan di bukakan pintu gerbang oleh para penjaganya, sebab tuan rumah tak pernah ramah terhadap tetangganya, setiap rakyat berkerumun, berteriak menentang kebijakannya, tak pernah ia hiraukan. Ia lebih senang memerintahkan para perajuritnya untuk mengusir dengan tangan besi, di banding dia harus bertemu dengan tetangganya yang kurus dan dekil, penghuni bangsat!, lagi-lagi ia seperti Raja yang tak pernah mau mendengar bantahan orang lain, dia lebih senang menerima para  pria berjas mentereng yang membawa pesan, dari setan di seberang lautan sana. Rangkaian kata yang keluar di dalam hati pria tua itu, sambil meneteskan air matanya memandangi gedung mewah di hadapannya.
“Kek bangun, kek bangun, ini sudah pagi”. Suara dari bocah pedagang asongan. Ingin membangunkan pria yang dari sore hingga pagi duduk bersila di bawah pohon depan gedung mewah itu, bocah ini biasa menyebut pria itu dengan sebutan kakek.
Komadan tempur belum juga bangun, hangatnya mentari pagi dengan debu yang siar-siur dari angkutan kota tak mampu juga membangunkan komadan tempur itu dari mimpinya.
Dengan lembut si bocah menyapu wajah pria itu,tangan yang sudah di basahi air minum yang ia bawa dari tempat tinggalnya. Mampu mebuat Kelopak mata yang mulai keriput di hantam kehidupan pahit, merangkak pelan-pelan terbuka, melihat jalanan yang terhampar debu hempasan ban mobil para pengendara jalan di kota penuh duka.
“Kenapa kamu di sini”. Tanya pria itu melihat bocah yang membangunkannya, mengenakan pakaian sekolah lengkap.
“Ini dagangan saya kek, yang jelasnya mau jualan dong kakek komandan tempur”. Sambut bocah itu, sesekali mencibir senyum melihat pria tua itu bengong di hadapannya.
“Seharusnya kamu sekolah”. Tandas pria itu, sambil mengambil botol minuman dari tangan si bocah.
Wajah bocah itu terlihat sendu, ia jawab pertanyaan pria itu dengan menundukan kepalanya sambil ia katakan. “Ibu di rumah lagi sakit kek, aku butuh uang untuk beli obatnya, lagi pula bila aku sekolah pasti uang yang aku sisikan ini buat membeli obat ibu, habis untuk makan di kantin, dan membayar uang kegiatan sekolah yang di wajibkan murid untuk membayarnya”.
“Coba kamu lihat di depan sana”. Ucap komandan tempur.
“Tak ada apa-apa kek, hanya ada Istana Negara”
“Penghuninya bertangung jawab pada hidupmu cah”
“Ah mana mungkin kek, wajah penghuninya aja aku tak pernah lihat, komandan perang ini ada-ada aja. Yasudah aku mau kesana dulu, dagangan ku masih banyak, kakek jangan lupa makan”. Katanya sambil meninggalkan komandan tempur di bawah pohon.
Si kakek tua hanya tersenyum, mendengar setiap kata yang keluar dari bibir lugu bocah itu.
“Kopi mbah”. Tawaran dari pedangan Kopi, yang mengenakan topi putih, dan kaos hitam bertuliskan GOLPUT.
“Boleh, jangan terlalu banyak Gulanya”.
“Lihat itu mbah, di seberang jalan sana ribuan buruh yang baru kemaren aksi dengan jutaan buruh, datang kembali kedepan istana”. Ucap pedagang kopi keliling itu sambil mengaduk kopi untuk komadan tempur yang selalu ia panggil mbah.
“Itu biasa di Negara yang kacau ini, wajar mereka menuntut, hasil kerja mereka tak pernah ia dapati sepenuhnya, biarkan saja mas, toh juga kamu untung kalau mereka aksi setiap hari”. Tandas komandan tempur sambil tertawa kecil.
“Betul mbah, tapi saya heran aja kenapa buruh-buruh itu aksi setiap hari”
“Tak perlu kamu bingung, wajar mereka menuntut, sudah berapa banyak yang di rampok dari mereka, hanya kemiskinan dan jerit tangis yang di sisahkan di hidup mereka”.
“Ahh masih saja aku bingung mbah, ini mbah kopinya”
“Tak apa kalau kamu bingung, kamu bingung juga ulahnya Harto”. Ucapnya yang mengingatkan kita pada kekejaman penguasa masa lampau.
“Dari mana kamu dapat baju itu”.lanjut komadan tempur.
“Dari mahasiswa yang tinggal satu gang sama aku mbah, oya mbah aku tawarin dagangan ku dulu kepada buruh-buruh itu mbah, sembari aku menanyakan ke mereka, kenapa tiap hari di depan istana”. Pamit pedagang kopi keliling itu setelah komadan tempur membayar kopi adukannya.
Kopi yang ia beli dari pedangan keliling itu menjadi temannya  menikmati suasana riah-riuh teriakan serentak tuntutan di depan istana, ia hembus kopi hitam itu, sedikit demi sedikit, secara perlahan-lahan ia dekati kopinya ke bibirnya yang kering, rasa legitnya kopi sanggup membuat matanya terbuka terang menyaksikan kehidupan yang ada di hadapannya.
Tentu kopinya tak selegit tumpukan kopi di dapur istana itu, yang biasa di minum oleh penghuni dan penjaga pintu gerbangnya. Bila para pejabat menikmati kopi dengan cerutu yang harganya termahal seantero bumi, ia hanya menikmati kopi dari pedagang keliling dengan teman debu dari bis kota yang sesak. Namun tak pernah ia mimpi menikmati kopi legit istana itu, tak juga cerutu termahal seantero bumi milik pejabat, keinginan pria tua itu sangat sederhana, garis keriput di wajahnya, hanya meminta bocah yang lugu itu, bersekolah, dan tak perlu memikirkan biaya hidup, masa kecilnya seharusnya di sekolah, bukan di sini. Begitu juga buruh-buruh yang setiap harinya ia saksikan berdiri di hantam panas, tak seharusnya mereka di luar gerbang, mereka yang seharusnya di dalam, karena mereka kelompok masyarakat yang membagun kehidupan. Begitu sederhana cita-cita pria itu, namun sayang, cita-citanya tak bisa datang bila hanya duduk diam dengan menyeduh kopi, cita-cita sederhana itu harus di raih dengan keberanian yang jujur.
Sembari ia menikmati kopi, matanya tak lepas memandangi bocah laki-laki yang memakai seragam sekolah itu, menawarkan dagangannya di kerumunan buruh-buruh yang mengenakan kemeja dan kaos merah.
Bocah laki-laki itu berlari-lari membawa dagangannya dengan riang, melayani satu persatu pembelinya, tanpa ngeluh ia terus berlari.
Terik matahari menampakan dirinya di atas kepala komadan tempur, yang dari tadi pagi hanya meminum kopi tanpa nasi, satu pelanggan pun yang biasa memakai jasanya belum datang.
Rasa lapar di perutnya sudah biasa ia rasakan, bahkan dalam berhari-hari tak menguyah nasi pun ia pernah, kelihatannya kakek tua itu udah terlatih hidup di Negara yang fana ini, rasa lapar yang  mengerogoti perutnya, seperti bulan yang hampir tiap malam merenung di langit kota.
Bocah laki-laki yang mengenakan seragam sekolah lengkap, membawa tumpukan plastik pembungkus dagangannya, yang sudah habis terjual, mendatangi komandan tempur itu.
“Kek dagangan aku habis, aku bisa beli obat ibu”. Ucap bocah itu sambil melampirkan senyumnya. Gigi ompong yang ada di tengah giginya kelihatan, sanking senangnya bocah itu mebuat ia berkali-kali tersenyum lebar.
Komadan tempur ikut dalam kebahagian bocah itu, ia tersenyum melihat bocah lugu di hadapannya, ia katakan nasehat untuk bocah itu. “Sudah simpan uangnya, kalau pulang jangan lupa lansung belikan obat untuk ibu mu, besok jangan kesini, sekolah dulu”
“Hehhe iya kek”. Jawab si bocah
“Kakek sudah makan?”. Lanjut bocah itu bertanya.
“Belum cah, bentar lagi aku makan, setelah pelanggan ku datang”. Jawabnya
“Aku belikan sekarang makan kakek ya”
“Tak usah, tak perlu kau merepoti dirimu, hanya karena aku”. Ia tolak tawaran baik bocah itu
“Gak papa kek, anggap saja ini tanda jasa dari ku untuk kakek yang seorang tentara. Guru ku sering cerita kek, tentara itu baik, dan tentara lah yang menjaga negara ini”.
“Itu dulu cah, sekarang tak begitu, tentara tak lagi menjaga negara mu ini”
“Kenapa guru ku bicara gitu kek”.
“Bila tentara menjaga negara mu, tentu kau tak berlari dengan seragam sekolah menawarkan dagangan mu”. Tandas komadan tempur.
“Kalau ibu sih kek, bilangnya ini cobaan bagi kami, ntar tuhan akan menggatinya dengan kebahagian”.
“Dimana kamu dengar dongeng itu cah?
“Dari ibu ku kek,”. Jawabnya
“Ibu mu keliru cah, kemiskinan bukan cobaan, dia adalah rekayasa, bila kau percaya tuhan itu baik, maka kau juga harus percaya bumi ini di ciptakan tuhan untuk membahagiakan penghuninya, tapi sayang cah ada yang serakah”. Keluh  komandan tempur itu, yang coba memberi tau pada bocah di hadapannya, bumi ini di kendalikan segelintir orang-orang serakah.
“Kau saja belum pernah melihat penghuni istana itu toh”. Lanjutnya
“Iya kek”.
“Tapi kemaren kek, di sekolah ku banyak berdatangan bapak-bapak dengan pakaian rapi lengkap dengan para pengawalnya kek, guru ku katakan itu pejabat, yang mau nyumbang dana, untuk memperbaiki atap sekolah yang sudah hampir roboh. Baik kan kek para pejabat itu”. Lanjut bocah lugu memeberi tau apa ia lihat dan dengar.
“Biasa itu cah, bapak-bapak itu pasti akan datang ke sekolah, ke pemukiman kumuh, ke desa-desa, dengan alasan mau menyumbang dana, padahal sebetulnya ia hanya mengenalkan diri untuk di pilih saat pemilu datang”. Jawab komadan tempur dengan pelan-pelan ia bicara, karena rasa nyeri di perutnya semankin ganas.
“Apa pemilu itu kek, kok aku gak pernah dengar di sekolah”.
“Pemilihan Umum cah, pemilu itu di katakan orang-orang sebagai gerbang awal untuk bangsa kita menjadi lebih baik, di pemilu itu lah kelak kalau kamu sudah besar menetukan siapa yang menjadi penghuni istana itu, tapi itu bukan jalan sesungguhnya”.
“Aku masih belum mengerti kek, mendengar omongan kakek”
“Bila kamu sudah besar nanti kamu pasti mengerti, asal kamu rajin sekolah, bukan hanya di dalam kelas yang atapnya hampir roboh, di mana saja kamu berada, anggap lah itu sekolah”.
“Iya kek, sekarang aku belum mengerti, ntar besar juga pasti mengerti”. Tandas bocah itu sambil berjalan meninggalkan komadan tempur tanpa bilang.
“Hee kamu mau kemana”. Tanyannya dengan berteriak
“Mau beli makan untuk komadan tempur”. Ia jawab lalu berlari.
Dasar bocah keras kepala. Katanya di hati sambil tersenyum melihat kaki kecil itu berlari hanya untuk membantunya.
Di sela-sela menunggu makanan yang di beli bocah itu, ia membersihkan kotak persegi empat yang ia punya untuk menjadi tumpuhan hidupnya.
Suasana siang semakin menunjukan keganasan kota, tanpa ampun, menyiksa para pejalan kaki dengan panasnya,
Ia tetap teguh bertengger dengan kotak persegi empat di hadapan istana, tentu bukan penggatian penghuni yang berasal dari pemilu ia inginkan, sebab kesengsaraan yang selama ini ia rasa, dan kemiskinan yang di jalani orang-orang di sekitarnya, tak dapat di ubah oleh mereka yang lahir dari rahim setan.
Bukan Pemilu yang ia tunggu di depan istana ini, ribuan bahkan sampai jutaan rakyat berkecimpung merebut gedung mewah di hadapannya, yang ingin ia lihat sebelum menutup mata telakhir kalinya dan menyapa dunia baru yang belum jelas keberadaan nya.
Ia seduh kopi yang sudah dingin sambil merangkai kata di dalam hati, pesan yang baik bagi generasi muda saat ini.Usia ku sudah senja, puluhan tahun aku hidup di negara ini, gonta-ganti pemimpin, tapi sampai hari ini tak juga aku di pandang sebagai manusia oleh penghuni gedung di hadapanku. Yang bermuka palsu, pasti akan menghampiri di mana orang kelaparan, bukan untuk mengusir laparnya. Hanya saja mereka ingin memastikan, si miskin masih setia dengan bunyi sumbang yang membuatnya terus menjadi hamba di negerinya sendiri. Bukan pemilu!, siapa pun calonnya tetap mereka lahir dari rahim setan, belum ada yang bisa di harapkan, lebih baik para pemuda itu bersiap memperkuat gerbongnya, untuk menyerang dengan ganas pada waktunya.

SUMBER:http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/23/bertengger-di-depan-istana-634124.html

CERPEN

PANGGIL SAJA AKU MAS BRO
Pagi datang dengan embun yang sejuk, saat para ulama bernyanyi di rumah tuhan, para kuli pasar mulai memikul, hunian pejabat masih sepi dari kehidupan, saat itu Lastri dengan tutur lembutnya, membangunkan ku, pasar pagi dekat rumah menjadi tujuan.



Panggil saja aku mas bro, laki-laki kampung, yang berpasangan dengan perempuan desa, hari ini aku sedang bekerja menghidupin keluarga dengan sejuta semangat dan keringat menetes demi keluargku  tersenyum riang ketika aku pulang di soreh hari.


Lastri namanya, ialah perempuan yang tegar dalam menjalanin kehidupan miskin bersamaku, dia memiliki kulit bewarna coklat, matanya sipit, dengan hiasan alis mata yang tipis, dan bola mata yang hitam, hidungnya tidak terlalu mancung , standart hidung pribumi, bibir tipisnya tak pernah berwana , itu karna dia tak memakai  listif, sebab uang belanja yang ku beri tak sanggup mencukupin kebutuhan untuk merawat diri, kulit di wajahnya sudah mulai keriput , mungkin karna dia tak pernah menggunakan kosmestik ala orang kaya, sehingga kulit wajahnya lebih cepat keriput dan tak terawat.


Kami sudah menjalani kehidupan rumah tangga selama lima belas tahun, di anugrahi tiga orang anak,yang mewarisin wajah ibunya, dan rambut keriting yang ku miliki. Anak tertua ku bernama Shinta, dia duduk di bangku SD kelas enam, di sekolah dasar yang terletak  tak jauh dari rumah ku, yang kedua bernama Dani, dia juga masih SD kelas empat, sekolah yang sama dengan kakaknya, sedangkan si bungsu bernama Dewi, dia belum bersekolah umurnya masih tiga tahun, ialah menjadi teman setia Lastri untuk menghusir rasa sunyi di rumah, bila aku dan anak –anak yang bersekolah sedang tak di rumah.

Kami tinggal di istanah kecil milik orang tua yang di wariskan untuk ku,letaknya tak jauh dari  tempat aku bekerja,  rumah petak yang lebarnya tak lebih dari lima meter dan panjang enam meter, atab genteng dari tanah liat, sedangkan didingnya setengah batu dan sisanya gedek yang bolong-bolong, tak ada barang elektronik, mau itu tv atau pun radio hingga suasana rumah sangat sepi, di istana kecil ini lah semua aktivitas kami lakukan, mulai dari memasak, sampai pada tidur, semua kami lakukan di  istanah kecil ini.


Aku bekerja di salah satu kampus besar yang sangat megah di sebelah selatan kota yogyakarta,kemegahannya bisa terlihat ketika para pembaca berkunjung ke tempat kerja ku, begitu para pembaca tiba di depan kampus tersebut maka dua pilar gedung mewah akan menyambut kedatangan para pembaca, kampus ini yang selalu dalam iklannya mengemban kepedulian terhadap masyarakat miskin.




Aku bekerja sebagai  cleaning service, tentu posisi tersebut aku dapatkan tak terlepas dari pendidikan ku yang rendah, sejak lulus SD aku tak melanjutin sekolah, karena ingin mengurangin beban orang tua ku, aku ikut membantu bapak memulung botol plastik bekas,kami kumpulkan segala barang bekas yang dapat di jual untuk menyambung kehidupan keluarga, hidup miskin dari kecil memaksa ku untuk mengakui tempat ku bukan di ruang kelas, yang penuh dengan senyum kosong.




Sejak dua tahun lalu, aku bekerja di kampus ini dengan harapan ku bisa memenuhi kebutuhan keluarga, namun layaknya cleaning service aku harus membanting tulang, bekerja sampingan demi mencukupin kebutuhan keluarga , sebab gaji yang aku dapat dari kampus  yang di dalam iklannya selalu mengemban kepedulian terhadap masrakyat miskin, sangat rendah.

Gaji ku hanya berkisar Rp 350.000,perbulan nya, dari jam 06.00 wib-15.00wib aku bekerja.  Hanya dapat memenuhi perut  si merah, motor tua ku yang sampai hari ini setia menemanin aku kemanapun untuk mencari segumpal beras, untuk di makan oleh istri dan anak ku, dengan gaji rendah itu mungkinkah aku dapat memenuhi kebutuhan keluarga ku, di tengah kebutuhan pokok yang harganya melambung tinggi?.



Gaji yang tidak cukup itu membuat ku terus membanting tulang, dengan kerja serabutan yang aku lakukan di tempat ku bekerja, bila beruntung aku mendapat proyek kecil, sebagai tukang suruh untuk membeli makanan, buat  para pengajar ,dengan harapan  di beri uang jalan.


Bila badan ku tidak capek aku sering mengambil lembur untuk membersihkan ruangan kelas yang di pakai malam hari oleh  para pengajar dan mahasiswa untuk melanjutkan aktivitas kuliah.
Menjadi tukang suruh dan lembur tentu belum bisa mencukupin kebutuhan keluarga ku,  upah yang paling tinggi ku terima dari pekerjaan serabutan  menjadi  tukang  suruh bekisar Rp 10.000 dan dari hasil lembur aku hanya mendapat Rp 2500, per jam aku bekerja membersihkan ruangan kelas dan rorong jalan, di tempat aku bekerja.



Gaji, lembur dan upah jadi pesuruh belum juga mencukupin kebutuhan keluarga ku, akhirnya ku memutuskan untuk menjadi tukang pikul di pasar pagi yang bertempat di dekat rumahku.
bila waktu sudah mulai mendekati dini hari, Lastri  membangunkan ku, agar aku cepat menuju pasar pagi, sebab apabila aku terlambat,  bisa  tidak mendapatkan apa-apa dari pasar pagi itu, karna banyaknya tukang pikul yang nasipnya  tak jauh berbeda denganku, hingga saling berebutan untuk menawarkan jasa pada pengunjung pasar.

Ada satu aturan di profesi kami , “siapa cepat dia dapat”,aku juga tidak selalu  beruntung terkadang aku terlambat menuju pasar, mengakibatkan aku tak membawa apa-apa pulang ke rumah,  hanya wajah lesuh yang bisa ku lampirkan ke istri dan anak-anak ku,  tapi seperti biasa, istri dan anak-anak ku tetap tersenyum di saat aku pulang walaupun tidak mebawa apa-apa untuk mereka.




Sering aku berpikir tentang masa depan anak-anak ku, terlintas pertanyaan di dalam pikiran ku, bagaimana mungkin masa depan anak ku cerah, bila aku tidak bisa membiayai mereka sekolah sampai jenjang sarjana? sementara uang yang bisa ku hasilkan dalam sebulan dari semua sumber kerja keras ku, tak lebih dari RP 800,000. Anak-anak ku butuh makanan yang bergiji untuk mendorong mereka dalam belajar, dengan uang segitu aku pun tidak berani jauh bermimpi, tentang sebuah kesuksesan anak-anakku di masa depan, sebab yang aku lihat di dalam masyarakat sekarang, sukses sangat sulit di raih bila kita tidak memiliki sekolah sampai jenjang sarjana,  jenjang sarjana di raih dengan nominal uang yang cukup besar, sehingga aku menyimpulkan sendiri takdir masa depan anak-anak ku yang tak jauh berbeda dengan ibu dan bapaknya.



Pernah suatu malam di saat ku duduk santai menikmatin malam di depan rumah, di temanin air putih satu gelas, dan kerupuk ,yang di beli Lastri dari warung.
anak ku yang pertama menghampiri ku dengan wajah yang memelas, ku bertanya sama dia,“kenapa wajah kamu sedih,kamu mau bicara apa?.
Dia menjawab sambil menangis, terseduh seduh, sampai-sampai apa yang di omongin tidak jelas kedengaran oleh telingah ku.
Dengan sabar aku mengelus rambutnya agar dia lebih tenang menjawab pertanyaan ku, sambil ku hibur dengan kata-kata yang bertujuan membuat dia tidak takut menyampaikan jawaban dari pertanyaan ku.
“jangan menangis putri ku, kamu ne sudah besar, sebentar lagi menjadi gadis dewasa, harus memiliki keberanian, menangis hanya untuk mereka yang pengecut”.
Setelah segala cara ku lakukan untuk memujuknya agar menjawab pertanyaan dariku, akhirnya dia menjawab dengan tenang.


Dia katakan pada ku, “ayah jangan sedih ya, dengan cerita Shinta”
sambil hati ku menebak-nebak apa yang ingin dia bicarakan, tapi rasa penasaran yang ada di hati aku simpan sejenak, lalu mengatakan pada anak ku untuk melanjutkan omongan nya.
“iya ayah tidak akan sedih,  apa yang mau kamu katakan putriku”?? .
“ Begini ayah, tadi pagi shinta dan dani di bentak-bentak oleh guru di  sekolah yang membindangin keuangan untuk ektra kulikuler,  karena belum membayar selama enam bulan, uang ektra kulikuler yang perbulanya Rp 20000 , guru di sekolah itu mengatakan pada shinta dan dani bila dalam waktu satu bulan tidak membayar tungakan uang ekstra kulikuler, maka kami berdua akan di keluarkan dari sekolah”. Tangkasnya dengan wajah yang memelas.


Aku sangat terkejut mendengar keluhan anak ku, beberapa hari yang lalu aku sempat membaca koran milik atasan ku, koran itu memuat kabar bahagia , bertuliskan negara mengeratiskan pendidikan dari tingkat dasar sampai jenjang menengah, geratis.! Katanya, tapi kenapa sinta harus di bentak-bentak karena tidak membayar uang ekstrakulikurel di sekolah yang sudah di jamin negara geratis.? Apakah itu hanya ilusi, yang tertera di dalam koran atasan ku.
Aku lihat wajah anak ku yang begitu sedih, matanya redub dia tundukan wajahnya di saat aku menantapnya, mungkin dia berpikir aku sedih mendengar ceritanya.



“ Yasudah kamu tidur dulu, tidak usah memikirkan masalah di sekolah mu, besok pagi sebelum kamu berangkat sekolah, ayah akan kasih uang untuk membayar tunggakan uang ekstra kulikuler Shinta dan Dani di sekolah”.
Mendengar omongan ku, anak ku lansung tersenyum, wajah sedih nya hilang seketika berganti dengan binar-binar kebahagian , sambil dia katakan padaku “ terima kasih ayah, ayah  jangan terlalu larut malam tidurnya ”, aku  mengangguk sambil tersenyum mendengar ucapan Shinta.



Setelah pembicaraan kami selesai, dia perlahan- lahan berjalan meninggalkan ku, malam semakin larut aku masih duduk di depan rumah, Lastri sudah tidur dari tadi, setelah dia bernyanyi dengan suara merdu, yang bertujuan untuk membuat si bungsu tertidur pulas mendengar ia bernyanyi, itu lah aktivitas yang sering di lakukan teman hidupku di saat malam.



Pikiran ku mulai gelisah dengan omongan barusan yang aku sampaikan kepada Shinta.
”Dari mana aku bisa mendapat kan uang sebesar itu dalam waktu satu malam”?? pertanyaan ini muncul di kapalaku.
Pikiran terus berputar demi mencari jalan keluar untuk membayar  tagihan sekolah sinta, seperti janji ku tadi kepada sinta, tiba-tiba aku teringat dengan pak haji, juragan cabai di pasar pagi tempat ku bekerja serabutan menjual jasa pikul.


Pak haji pernah menanyakan padaku tentang motor tua yang aku milikin, dari gaya bicaranya  dulu aku melihat pak haji tertarik dengan motor tua warisan kedua orang tua ku,tapi hatiku masih merasa berat bila harus menjual motor tuaku, di lain sisi hatiku juga terus gelisah melihat nasip anakku, bila aku tidak menjual motor tua ini, maka anak ku tak dapat sekola lagi, tak ada jalan yang lain, mengadu kepada siapa? Semua saling sembunyi di atas penderitaan rakyat kecil, mau tak mau aku harus menjual  motor tua miliku , agar Shinta dan Dani dapat melanjutkan sekolah lagi tanpa terhenti hanya gara-gara tak membayar uang ekstra kulikuler.

Tak terasa subuh sudah menggapai desaku, aku harus bergerak menuju pasar pagi, di temanin rasa ngatuk, tanpa ijin dengan Lastri, karena dia masih tertidur pulas aku lihat, mungkin dia kelelahan mengurusin si bungsu satu harian.

Aku lansung melangkah kan kaki menuju motor tua ku lalu menunggangin nya ke pasar pagi  dengan tujuan yang berbeda, biasa nya aku datang dengan sejuta harapan mendapatkan orang-orang baik menggunakan tawaran jasa ku untuk mengangkat barang-barang yang di belinya di pasar pagi.


Kali ini aku melangkah menuju pasar pagi dengan niat menjual motor tua ku, kepada Pak haji, mudah-mudahan dia masi tertarik dengan motor tua ku, tiba aku di pasar pagi, seperti biasa para pedagang sudah menjajalkan barang daganganya.


Aku lansung menuju ke lapak Pak haji dengan sejuta harapan, aku bertemu dengan Pak haji dan lansung mengatakan maksud dari kedatangan ku, tak butuh waktu lama aku menawarkan untuk dia membeli motor tuaku, dia lansung mengatakan bersedia membeli motor tua ku tanpa menawar harga yang aku ajukan, sepertinya Pak haji sangat tertarik dengan motor tua ku, kesepakatan pun terjadi, Pak haji memberi uangnya aku memeberi motor tuaku beserta surat-surat kepadanya.


Setelah mendapatkan uang dari hasil menjual motor tua ku, aku lansung pulang menuju rumah di temanin rasa sedih karna kehilangan motor tua yang menjadi teman hidup ku puluhan tahun serta telah banyak menggoreskan kisah hidup ku.
Di rumah, Lastri  menyambutku dengan wajah yang bingung sambil  bertanya padaku, “motor kamu mana mas”?. “Mas jual sayang, untuk bayar uang sekolah Sinta dan Dani” jawab ku, dia hanya terdiam mendengar jawaban ku, dan tak menanggapin kata-kata ku.

Aku kasih uang hasil menjual motor tua ku pada lastri sambil berpesan, “sayang nanti uang ini kamu kasih ke Shinta ya, untuk membayar tunggakan nya di sekolah”, Lastri mengganguk mendengar pesan dariku, tak ada satu kata yang keluar dari bibirnya, diam dengan  mata bekaca-kaca. tak banyak aku bicara dengannya, aku lansung menuju kamar mandi, untuk membersikan badan ku yang gerah.

Usai mandi seperti biasa aku selalu menjemur handuk ku di depan rumah, ku dapatin Lastri sedang melamun sedih di teras rumah ku, wajah nya lesu,   aku tegur istriku,  “Lastri “,  mendengar aku menyapanya , dia pun kaget, melihat aku tiba-tiba berada di sampingnya,lalu aku bertanya pada dia, “ada apa lastri, kenapa kamu termenung”??  dia tak menjawab pertanyaan ku, hanya ekspresi murung yang terlihat di wajahnya saat mendengar pertanyaan dariku.

Rasa penasaran terus menggugah diriku untuk mengetahui apa yang sedang di pikirkan Lastri, sebab aku tak biasa melihat dia merenung, pasti ada sesuatu yang membuat dia risau.
“ Kenapa kamu merenung sayang”?  tanyaku kembali. Wajahnya masih memunculkan ekspresi sedih , sambil sesekali dia menatap sembunyi-sembunyi wajahku, yang lagi gusar tak sabar mendengar keluhanya.


Sejenak kami saling diam, tak ada kata yang keluar dari bibirnya, begitu juga dengan ku.
ratapan mata  sedih  dan wajah nya yang lesuh, membuat ku gelisah, sambil menggurutu di hati , karena rasa penasaran yang sulit di bendung, bersarang di pikiran ku,   , selama setengah jam kami saling diam, sibuk berpikir sendiri.


“Bearti aku tak punya kesempatan untuk memberi solusi? tanyaku lagi, sambil meyakinkan nya,agar ia mau katakan hal yang membuatnya risau.

Tak lama aku bicara, ia menjawab dengan singkat, “tidak ada masalah apa-apa mas, jadi tak perlu solusi”. “Lalu kenapa wajah kamu merenung”?? tanyaku dengan nada penasaran,ia jawab dengan hati-hati, kata perkata ia susun rapi untuk menjelaskan gundah di hatinya.


“Lastri sedang memikirkan masa depan anak -anak kita, setelah lastri mendegar khotbah Pak ustad di pengajian masjid kemaren, Lastri jadi berpikir“ jawabnya. Terhentak aku bingung, ada apa lagi dengan pak ustad, kenapa dia buat Lastri risau, sementara jalan keluar tak terucap dari bibirnya.

“Apa yang di katakan Pak ustad?” tanyaku di selimutin bingung.“Ustad di pengajian itu kemaren katakan mas, nasip manusia itu di tentu kan oleh gusti allah, mendengar perkataan ustad itu Lastri jadi bepikir, tentang nasip anak” kita kedepanya” jawabnya dengan sedih.

“Kalau memang gusti allah yang mengatur itu semua, bearti kita tidak perlu khawatir, kebahagian anak kita di masa depan. Tetapi ada keganjelan yang Lastri rasa di omongan Pak ustad, kalau memang gusti allah yang mengatur itu semua, lalu apakah bisa anak kita yang tak sarjana, masa depanya cerah, sementara kita melihat sendiri di desa ini,yang tak sekolah nasipnya tak beda dengan kita ” sambut Lastri.


Mendengar keluhanya yang begitu panjang sampai aku tak bisa mengingat bait perbait kata yang telah di keluarkannya aku hanya katakan yang semestinya.

“Ini lah kehidupan sayang, yang miskin harus diam di pinggir jalan melihat antrian mobil mewah masuk ke kampus megah, kita dan anak kita hanya diam, dan terus berjalan, jangan henti atau pun mengeluh, itu kesalahan bagi si miskin, apalagi mengharap belas kasihan ntah dari mana, yang membuat si miskin terbungkam di selimutin kata-kata suci, dari orang- orang pintar yang sok rupawan“, saud ku. Dia tak menjawab apa-apa, hanya senyuman lugunya yang  ia lampirkan di wajahnya, ketika mendengar kata-kata  ku rasa gundah di hatinya yang di akibatkan Pak ustad pun hilang di gantika binar-binar senyum di wajahnya.


“Kenapa kamu tersenyum?”,   tanyaku dengan rasa gerogi.
“Gak papa mas” dia jawab dengan singkat”,”Tak apa, kok kamu tersenyum?”.

“Begini mas, lastri sangat senang, karena Lastri mengetahui suami Lastri  lelaki yang berani”.
Suami mana yang tak senang, bila di bilang berani oleh pasangan yang iya cintai, terus aku tanya kan ke dia “ apa kah itu sebuah rayuan lastri?”.

Dia tertawa kecil, sambil menunduk kan wajahnya, mata sipitnya hampir tak terlihat bila ia tertawa.
lalu ia katakan dengan nada yang tak henti merayu, “ndak kok mas, itu bukan rayuan, Lastri hanya katakan apa yang sebenarnya”.
“Terimah kasih lastri kamu sudah menyampaikanya”, “iya mas” jawabnya.

“Oya lastri ada yang ingin mas tanya kan ke kamu”. “apa itu mas ? tanyanya, “tapi kamu harus jawab jujur ya”, “lastri akan usahakan”. saudnya.

Begini Lastri, aku ingin tanya kamu menyesal tidak menikah dengan ku?” , Lastri kaget mendengar pertanyaan ku , terlihat kulit wajahnya di kening berkerut , mungkin dia bingung  ,
mendengar pertanyaan ku lalu ia katakan,  “kenapa mas bertanya seperti itu”? ,”tak apa Lastri, mas hanya ingin tau saja” jawabku.
“pertanyaan itu mas sendiri sudah tau jawabanya” sambutnya, “Aku tidak tau Lastri” jawabku.


Sejenak dia terdiam sambil menatap wajahku, lalu ia katakan, “ tak mungkin Lastri menyesal hidup dengan mu, walaupun hidup kita miskin seperti ini, hidup miskin bukan mau mu atau pun tuhan, kau sudah berusaha , usaha mu sudah cukup jadi alasan, aku tetap di istana kita,

‘Lalu apa yang membuat mu bertahan lastri di samping aku”? tanya ku kembali ingin mendengar rayuannya yang menyejukan hati.


Ia tersenyum mendengar pertanyaan konyol ku itu, “mas- mas seharusnya kamu tidak perlu bertanya lagi kenapa Lastri bertahan, aku sudah katakan tadi, usaha mu dan keberanian mu menjadi alasan ku untuk bertahan.

Mendegar jawaban Lastri aku tersenyum sendiri, malu, bercampur senang mendengar pujian dari teman hidupku.

Tiba-tiba si bungsu terbangun dari tidurnya mungkin karena panas pagi yang menembus dinding rumah membuat ia menangis, di sela-sela aku dan Lastri asyik saling memuji.

“Mas si bungsu nangis, Lastri ke dalam dulu ya mas” ucapnya mendegar tangisan si bungsu, “iya lastri” jawabku yang masih berharap mendengar ribuan pujian darinya.



Saling memuji dengan Lastri hampir membuat ku lupa , dari tadi malam aku belum tidur, badan ku sudah merasa lelah, ada baiknya aku masuk ke dalam berbagi tempat dengan si bungsu, untuk istrihat sejenak dari kehidupan yang miskin ini, hanya tidur la hiburan kami.


Cerita ku ini mungkin tak hanya terjadi padaku, kemiskinan bukan hal yang langkah di negeri ku, para gembel kelaparan bejejer tiap paginya di lampu merah, bawa mangkok dengan wajah memelas, kemana mahasiswa? peristiwa 98 , aku saksi sejarahnya, para pemuda -pemudi berani keluar kampus banjirin jalanan dengan sejuta selogan demi kemakmuran, kemana mahasiswa? mereka lupa dengan kekuatanya, mereka lupa dengan lingkungan nya. cerita ku semoga sampai ke telingah kalian, bangkit lah sayang, tak ku minta pristiwa 98, aku hanya ingin kalian tau, di kampus mu, tempat kau memamerkan mobil baru, motor keren, dan segudang aksesoris kehidupan, masih ada kami yang membersihkan ruangan kelasmu, dengan gaji yang di djolimin, lahirlah kau sayang di atas keberanian seperti merahnya api, teguh seperti air yang tak kenal menyerah, demi kami dan jutaan rakyat miskin .



Sumber tulisan:
Wawancara dengan pekerja cleaning servis yang bekerja di salah satu kampus megah di sebelah selatan kota Yogyakarta.
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/23/panggil-saja-aku-mas-bro-634117.html

penyakit kanker

Apakah gejala-gejala penyakit kanker?


Di dalam artikel saya yang sebelumnya saya membahas tentang asal-muasal sel kanker. Dalam artikel ini, saya ingin membahas tentang beberapa gejala penyakit kanker sehingga anda bisa mengecek diri anda atau keluarga apabila anda memiliki gejala berikut ini. Secara umum ada dua macam gejala kanker. Yang pertama adalah gejala sistemik akibat pembelahan sel yang tidak terkontrol dan yang kedua adalah gejala lokal yang disebabkan oleh efek kanker pada organ di sekelilingnya.
Gejala Sistemik
Sel-sel kanker yang membelah diri dengan tidak terkontrol tumbuh lebih cepat dari sel-sel normal dalam badan kita. Akibatnya, sel - sel ini mengambil banyak energi yang diperlukan oleh badan kita. Akibatnya pasien kanker akan kehilangan banyak berat badan. Sel - sel abnormal ini juga menghasilkan zat - zat kimia yang biasanya diproduksi oleh badan kita ketika terjadi peradangan, seperti cytokine. Hasilnya, kita menjadi sangat lelah, panas demam, keringatan terutama ketika tidur (seprei basah ketika bangun tidur), dan kehilangan nafsu makan. Gejala - gejala sistemik ini bisa juga terjadi dalam penyakit lain seperti tuberkulosis dan penyakit autoimmunitas, tetapi anda masih harus mengecek diri ke dokter.
Gejala lokal
Gejala-gejala lokal kanker berbeda tergantung dari jenis kanker yang diderita. Mereka terjadi karena sel - sel kanker merambah dan merusak organ - organ di sekitarnya. Saya akan membahas beberapa kanker yang paling sering terjadi dan gejala lokal mereka.
Kanker paru-paru
Yang pertama adalah kanker paru - paru. Tentu saja kebanyakan kanker ini terjadi pada para perokok berat. Gejala lokal yang timbul bisa termasuk batuk kronik, infeksi paru-paru basah yang sering terjadi, dan, yang paling penting, batuk berdarah. Apabila anda memiliki gejala ini, anda harus mengambil X ray paru - paru. Apabila ada kelainan yang bisa terlihat dalam X ray, dokter harus membiopsi kelainan itu, entah dengan menggunakan CAT scan atau bronchoscopy.
Kanker payudara
Di negara-negara Barat, ada sistem ’screening’ untuk wanita di atas umur tertentu untuk mendeteksi kanker payudara dini. Apabila anda bisa merasakan sebuah benjolan di payudara, anda harus meminta mamografi dan biopsi, biasanya dengan US atas benjolan anda. Gejala lain yang bisa terjadi adalah ketika puting payudara berubah bentuk dan kulit di sekitar payudara menjadi kasar seperti kulit jeruk (peau d’orange). Kadang - kadang cairan bisa keluar dari payudara.
Kanker usus besar
Gejala yang paling umum untuk kanker jenis ini adalah diare dan konstipasi. Sering kali anda juga bisa melihat darah keluar dari anus. Untuk orang - orang yang lebih tua, anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi juga harus diperiksa dengan serius. Colonoscopy biasanya diperlukan untuk investigasi lebih lanjut karena kadang-kadang pasien bisa memiliki pendarahan kecil yang tidak terlihat oleh mata kasat. Kadang - kadang kita bisa mengecek darah di kotoran sebelum colonoscopy.
Kanker Prostat
Tentu saja kanker ini hanya terjadi pada lelaki. Gejala biasanya dimulai dengan susah (sakit dan susah untuk memulai) membuang air kecil. Gejala ini bisa juga disebabkan oleh penyakit bukan kanker yang bernama Benign Prostatic Hypertrophy. Tetapi saya anjurkan anda tetap pergi ke dokter untuk mengalami pemeriksaan internal dan juga US +/- MRI. Kadang - kadang anda harus menjalani cystoscopy dan bedah lokal untuk memotong prostat dari dalam (TURP). Biopsi dari operasi ini kemudian bisa diperiksa untuk kanker.
Semua gejala ini hanya berlaku untuk beberapa jenis kanker. Apabila anda memiliki gejala - gejala di atas anda harus pergi ke dokter dan mengecek diri anda. Deteksi dini kanker adalah salah satu cara menyembuhkan kanker secara total dan menyelamatkan hidup anda!

Sumber :http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/02/24/apakah-gejala-gejala-penyakit-kanker-637275.html